Pelajaran Berharga dari Seorang Pedagang Kaki Lima
Di sudut jalan, aku
menghentikan langkah. Suasana di sekitaran Polresta memang sangat padat. Tidak
jauh dari titik Nol yang selalu ramai dikunjungi wisatawan domestik. Kawasan
itu terkesan tidak tertata dengan rapi. Berdasarkan data jumlah PKL, terdapat lebih
dari 1500 pedagang. Angka yang sangat besar hingga sejauh mata memandang, PKL
berbaris membujur dari barat ke timur sepanjang emperan toko (perko).
Di trotoar jalan simpang empat KM. 0, para
Pedagang Kaki Lima (PKL) membuka lapaknya. Mayoritas PKL menjual pakaian
bernuansa khas daerah. Tapi ada pula yang berjualan minuman dingin dan kopi
atau teh panas di angkringan. Sebagian kecil di antaranya ada yang berjualan
poster, manik-manik dan akik. Di sana terdapat pula pedagang asongan rokok
bungkus dan ketengan.
Pemerintah Daerah setempat menetapkan
relokasi PKL di tempat yang sudah disiapkan. Lokasinya di bekas gedung bioskop
dan gedung Dinas Pariwisata. Daerah ini memang telah menjadi tujuan wisata dari
berbagai daerah. Sejak rencana pemberlakuan kebijakan sterilasi kawasan heritage,
banyak pemilik lapak PKL yang gelisah. PKL khawatir jika jadi direlokasi
nanti omset dagangannya akan turun drastis. Sekalipun ada sebagian besar yang
menolak kebijakan ini, pemerintah bergeming.
***
Sinar mentari hari ini cukup terik. Cuaca
siang ini terasa panas. Tak terlihat mendung sedikit pun di langit. Aku baru
saja menyelesaikan urusan perpanjangan SIM C di Polresta.
Seminggu yang lalu, niatanku untuk
memperpanjang SIM di Mobil SIM Keliling (MSK) kandas setelah aku tak mendapat
nomor urut. Aku tiba di Kantor Kelurahan yang menjadi lokasi layanan SIM
Keliling pukul 09.00 WIB. Setelah kuparkir motor di halaman kantor Kelurahan,
aku menuju meja pendaftaran. Saat itu banyak pengunjung yang memiliki tujuan yang
sama denganku. Bahkan ada pula yang akan membuat SIM baru. Kalau kuhitung lebih
dari 50 orang. Mereka duduk di kursi yang telah disediakan dan ditata sesuai
dengan aturan protokol kesehatan. banyak pula di antara mereka yang duduk di
emperan kantor kelurahan.
Saat jam operasional layanan SIM Keliling
dibuka, seorang petugas berteriak memberikan pengumuman. "Tolong bagi bapak/ibu/saudara yang SIM nya akan mati 3 hari lagi
maju ke depan."
Sontak aku terkagetkan dengan suara petugas itu. Begitu pula orang-orang di
sebelahku. "Hah, kita sudah jauh-jauh datang ke sini ternyata layanannya
hanya terbatas. Petuga hanya melayani pengunjung yang masa berlaku SIM nya akan
habis dalam tiga hari ke depan.
SIM ku akan mati (habis masa
berlakunya) pada hari Sabtu, tanggal 29 Januari 2022. “Wah alamat nih ndak akan
dapat nomor antrean”, gumamku dalam hati. Aku dan para pengunjung lainnya
merasa gusar ketika mengetahui hal itu. Masih 8 hari lagi SIM ku menemui tenggatnya.
Ada yang masa aktif SIM nya hingga 7, 6, 5 dan 4 hari lagi. Mereka meminta
penjelasan kenapa layanannya hanya terbatas.
Salah seorang petugas mengumumkan layanan
SIM hanya berlaku untuk 30 orang per hari. Kemudian dia meminta pengunjung
untuk mengecek IG Simditlantas. Akhirnya pengunjung yang tak terlayani di hari
itu kembali ke tempat kerja masing-masing.
***
Di waktu jelang 1 hari masa berlaku SIM ku
habis, aku berbegas naik motor menuju lokasi layanan SIM di daerah Cincut.
Lokasi yang berbeda dengan saat aku dan banyak pengunjung lainnya tidak
mendapatkan nomor antrean pada pekan lalu.
Hari ini aku mengecek jadwal
SIM Keliling di IG. Ternyata lokasinya berada di kantor stasiun radio swasta
tak jauh dari Kantor Kelurahan. Setibanya di lokasi yang sudah terjadwal, aku
menemui petugas layanan.
Kulihat jam saat aku datang
pukul 08.20 WIB. Namun yang terjadi ternyata kasusnya hampir sama dengan minggu
lalu. Aku sedikit terlambat karena kuota 30 orang sudah terpenuhi. Jadinya aku
tidak mendapatkan nomor antrian. Saran petugas, lebih baik datang langsung ke
Polresta karena di sana tidak ada batasan kuota. Akhirnya, aku mendatangi
Polresta yang tidak jauh dari kawasan padat PKL di titik o KM.
Aku datang dengan penuh harap semoga masih
mendapatkan giliran antre. Alhamdulillah sesampainya di kantor Polres pukul
09.30 WIB, aku segera melengkapi semua persyaratan untuk pengajuan perpanjangan
SIM. Seorang petugas yang tadi aku tanya telah menjelaskan alur dan
prosedurnya. Namun hari itu aku dapet nomor antrean 97. Wah, banyak banget yang
sudah ngantre. Aku mengisi form yang diberikan petugas dan mengumpulkannya
kembali ke loket 1. "Nanti ke loket 3 ya pak untuk pemotretan, di sana ruang
tunggunya," kata
petugas sambil menunjuk arah barat.
Ketimbang duduk bengong menunggu
dipanggil petugas, aku berusaha mengusir bosan dengan berjalan keluar gedung.
Memang kurasakan tenggorokanku kering dan butuh minum. Aku pengin njajan di
luar kantor Polres. Terlihat olehku banyak PKL yang menunggu lapaknya.
Dari kejauhan tampak seorang
pria paruh baya yang membuka lapak minuman. Dia tertunduk dan menarik
perhatianku. Mungkin karena pembelinya sepi hari ini. Dalam hatiku berkata, "Ini nih yang kucari!"
Segera aku bergegas melangkahkan kaki ke sana.
Tapi aku tertegun sejenak.
Pandanganku kosong. Terlintas dalam pikiranku pada anakku, Zara. Dia kini duduk
di bangku kelas 2 SD. Jika melihat pemandangan seperti ini, Zara selalu
merengek. Dia merasa iba dan dengan cepat memintaku untuk membeli. "Yah, beliin aku dagangan orang itu, aku kasihan melihatnya," pintanya. Namun hari ini Zara tak
bersamaku karena ia masuk sekolah.
Rasa hausku bertambah saat
melihat pria di depanku yang meneguk minuman dingin lalu menenteng sebotol
Aqua. Aakhhh, pasti segar rasanya. Di tengah cuaca yang panas ini aku bersyukur
ada PKL yang berjualan minuman.
Tak sabar lagi aku menanyakan kepada bapak penjual minuman kaki lima itu.
"Permisi, (beli) teh botol pucuk harum yang dingin ada kan, Mbah??"
Lelaki penjual itu menjawab, "Ada mas, ini," sahutnya sambil menyodorkan pesanan yang kuminta.
"Berapa harganya, mbah?", tanyaku lagi.
"Rp. 10.000, mas," jawabnya.
Setelah aku membayarnya, kucari tempat duduk tak jauh dari penjual itu. Sejurus kemudian, kubuka segel botol dan meminumnya. Kurasakan kerongkonganku kembali segar. Sambil duduk aku bercakap-cakap dengan pak tua penjual minuman. Sebutlah namanya pak Michi.
"Lagi ngurus apa di Polres, mas?" tanya Mbah Michi.
"Ngurus perpanjangan SIM C, mbah. Ini tadi sambil menunggu antrean
yang panjang saya keluar karena kehausan," jawabku.
Kami ngobrol asyik dan
menikmati suasana terik hari ini. Kuceritakan padanya tentang kejadian yang
kualami pagi tadi dan minggu lalu saat mau mengurus perpanjangan SIM di layanan
MSK. Mbah Michi menyayangkan juga soal kuota layanan di MSK. Tentunya sangat
mengecewakan, karena pengunjung yang hendak mengurus perpanjangan sudah meminta
izin atasannya keluar kantor atau pabriknya.
Sambil menyantap roti yang
kubeli dari Mbah Michi, kutanyakan lamanya beliau menjalani pekerjaan sebagai
PKL dan mengulik soal anak dan keluarganya. Aku cukup heran di usianya yang
sudah lanjut masih mau membuka lapak. Saat bercerita itu Mbah Michi memberikan
satu petuah, "Wong urip kuwi kudu obah, yen ra obah ora mamah" (Orang hidup itu harus bekerja,
kalau tidak akan kelaparan, begitu kira-kira kalau diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia). "Hidup itu perjuangan yang tanpa henti. Kalau berhenti
alias putus asa, kelak akan merasakan akibatnya dan pasti menyesal di
akhirnya."
Sungguh sangat bijak nasihat dari Mbah
Michi. Seketika itu aku teringat sebuah lagu Group Band Dewa-19 yang judulnya: HIDUP ADALAH PERJUANGAN. Tepat sekali apa yang
dinasihatkan Mbah Michi. Tak ada yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma. Kita
harus tetap berusaha (ikhtiyar)
dibarengi dengan do'a. Dalam kondisi apapun jangan pernah berputus asa. Perkuat
pondasi keimanan, dan yakinlah pasti sampai. Ikhtiar yang maksimal dan usaha
yang sungguh-sungguh tidak mengkhianati hasil yang kita peroleh. ***
Komentar
Posting Komentar